Ketika Konflik Justru Jadi Strategi Branding
Biasanya konflik dihindari oleh para pebisnis. Tapi tidak bagi Puspo Wardoyo, pendiri Rumah Makan Wong Solo. Ia justru menjadikan konflik sebagai alat branding yang sangat efektif. Dengan strategi manajemen konflik yang nyentrik, ia berhasil menciptakan gelombang perhatian publik terhadap dirinya, dan tentu saja, bisnisnya.
Awal Mula Wong Solo: Dari Kaki Lima ke Waralaba Nasional
Perjalanan bisnis Puspo dimulai pada tahun 1993 hanya dengan modal Rp 700 ribu. Dari pedagang kaki lima di Bandara Polonia Medan, ia pelan-pelan membangun jaringan rumah makan yang kini dikenal hampir di seluruh Indonesia. Titik baliknya datang ketika sebuah koran lokal memberitakan dirinya. Hasilnya? Omset meledak hingga 400%. Di sinilah ia menyadari kekuatan media dan opini publik.
Kontroversi yang Sengaja Diciptakan
Siapa sangka, banyak kontroversi seputar Puspo bukanlah kebetulan. Dari isu poligami, acara “Poligamy Award”, hingga nama-nama menu nyeleneh seperti “Jus Dimadu” dan “Tumis Cah Poligami”, semuanya adalah bagian dari strategi. Tujuannya satu: agar orang terus membicarakannya.
Bahkan ia mengaku tak segan membayar orang untuk mendemonya, demi menciptakan buzz. Bagi Puspo, dikenal dulu, disukai belakangan. “Selama orang membicarakan Puspo, mereka otomatis membicarakan Wong Solo”, katanya.
Tim Isu & Manajemen Media
Di balik layar, Puspo tidak bekerja sendirian. Ia membentuk tim yang terdiri dari wartawan di berbagai kota untuk menyebarkan isu-isu strategis. Tapi kontrol tetap di tangannya. Dua minggu sekali, ia memimpin rapat untuk menentukan topik yang akan ‘meledak’ bulan depan.
Strategi ini bukan hanya menaikkan pamor pribadi, tapi juga berdampak langsung ke bisnis. Proposal kerja sama terus mengalir, dan waralaba Wong Solo berkembang pesat.
Personal Branding vs Produk Branding
Menariknya, nama Puspo justru lebih populer dibanding brand Wong Solo itu sendiri. Maka, ia mulai mengalihkan fokus ke produk unggulan: dari beras premium hingga kangkung air panas yang dinamai “Kangkung Perkasa”. Bahkan, ia menyisipkan branding nyeleneh ala Puspo seperti “Jus Poligami” agar tetap relevan dengan citranya.
Branding Tidak Harus Membosankan
Kisah Puspo Wardoyo mengajarkan satu hal: branding tidak harus datar dan aman. Justru dengan menciptakan percakapan, bahkan konflik, sebuah brand bisa menancap kuat di benak publik. Tapi tentu, semuanya harus dikendalikan dengan strategi, bukan sensasi semata.
Dalam dunia bisnis yang penuh persaingan, keberanian untuk tampil beda bisa jadi pembeda utama. Dan Puspo membuktikan itu, dengan cara yang sangat... Puspo.
Ayo Diskusi!
Gimana menurut Anda soal strategi kontroversial ini? Cerdas atau berisiko? Yuk share pendapat Anda di kolom komentar dan bagikan artikel ini ke teman-teman Anda yang sedang membangun bisnis atau personal branding.
0 Komentar